The Dream





So many people have problems in the earth, and I’m the one of them...



 

By           : Vincensia Amanda Gondokusumo

Editor    : Maria Anastasia Gondokusumo

 

Bab 1

 

    

       Adakah orang yang menyadari keberadaanku? Aku merasa dikucilkan oleh mereka. Semua kejadian yang menimpaku selama ini pasti hanya mimpi! Aku yakin, tak lain dan tak bukan hanya mimpi...

                                            



 

            Aku terbangun dari tidurku, terdengar suara dengkuran yang akan kudengar setiap paginya. Ya... itu suara dengkuran suamiku tercinta. Tak tega aku membangunkannya karena baru pukul tujuh pagi, aku langsung menuruni tempat tidur kayuku dengan perlahan-lahan. Rumahku ini identik dengan alam.

            Aku langsung menuju ruang makan dan mulai menyiapkan sarapan. Tiba-tiba ada suara pintu kamarku tadi terbuka.  Rupanya dia terbangun karenaku tadi.

            “Sudah bangun, sayang?” tanyaku lembut.

            “Huah, yah sedikit mengantuk tak apalah...” jawabnya malas. “Tadi malam sungguh melelahkan, kerjaanku kuselesaikan tiga jam yang lalu. Untung latop ku tahan panas sampai dua puluh empat jam!”

            “Hmm, tidurlah sebentar lagi! Toh hari ini Sabtu, hari liburmu.” Kataku seraya tersenyum lembut kepadanya.

            “Ya, setelah memakan roti bakar dan Cappuccino buatan istri tercinta,” kata Michael mendekatiku lalu memelukku dari belakang. Michael adalah orang paling sempurna yang pernah kutemui. Tidak disangka, dambaanku sudah menjadi impian yang menjadi nyata.

            Baru kemarin kami melangsungkan pernikahan. Hari itu kami melangsungkan pesta besar-besaran. Pesta yang digabungkan dengan kelulusanku menjadi sarjana. Sungguh beruntung bagai direncanakan, Michael langsung mendapat pekerjaan yang memuaskan.

            Kuseduh air panas ke dalam cangkir hitam kesukaannya, dan menunggu roti yang dipanggang dalam mesin pemanggang roti otomatis.

            ~ Cling ~ roti sudah matang dan dua buah roti melompat keluar dari alat pemanggang roti. Lalu kuoleskan mentega ke roti-roti itu tak lupa dengan selai anggur kesukaan Michael. Lalu setangkap roti itu kutaruh di atas piring kecil dan menaruh juga garpu mungil yang diberikan sahabatku, Nadine sebagai hadiah pernikahan kami. Kubawa Cappucino dan roti itu ke meja makan, dan kulihat Michael tertidur di atas meja makan.

            “Sayang, roti panggang dan Cappucino pesananmu sudah siap disantap,” kataku seraya menggoncangkan pundak Michael dengan perlahan.

            Sekali, dua kali, tiga kali goncangan tak ada reaksi. Aku panik dan menggoncangkan pundak Michael lebih keras lagi.

            “Michael!! Bangun, sayang!” teriakku panik. Aku menangisi Michael dan menaruh kepalaku di atas pundaknya yang tersandar di meja makan. Ini bagai mimpi, hubunganku dengan dia belum lama! Katanya dia punya penyakit jantung!!

            Kemudian Michael segera mencium pipiku. Aku tersentak kaget.

            “Aduuh, istriku! Jangan menangisi aku terus, nanti air matamu kering lho!” kata Michael mengusap kepalaku dan menciumnya.

            “Michael, jangan menakutiku! Aku khawatir, bodoh!” jawabku yang masih terisak.

            “Ternyata kamu amat mencintai suamimu ini, yah!”

            “Jelas saja! Kalau tidak, untuk apa aku menikahimu?”

Kamipun mulai berpelukan. Aku memeluk Michael erat sekali, yah maklum lah kalau baru dikejutkan oleh suami yang agak menyebalkan.

           



 

            Aku berkenalan dengannya dalam sebuah planetarium setahun yang lalu. Ketika itu, pemuda tegap dan tampan itu menolongku yang terpisah dari rombongan karyawisata klub astronomi. Aku masuk klub itu karena aku menyukai planet dan alasan utamanya adalah karena aku sedang mengejar seseorang. Namanya adalah Alvin, selain tampan dia orang baik dan pintar. Tak aneh banyak orang yang menyukainya, termasuk aku...

Saat itu Michael mengajukan berbagai macam jenis pertanyaan aneh. Aku langsung berlari menyusul rombonganku. Alvin mentertawaiku, dia kira aku mengalami penyakit psikis. Habis, aku meneriaki seorang pemuda biasa sebagai penculik. Meski tidak berbeda jauh...

Saat istirahat, aku menjauhi rombonganku takut ditertawai lagi. Aku duduk di bawah sebuah pohon rindang yang disinari matahari. Duduk di situ bagai berada di dasar laut. Aku sedih sekali, sampai-sampai susah mengeluarkan air mata. Alvin men-cap jelek diriku. Mau bagaimana? Klub astronomi tak lagi menyenangkan...

“Aku akan menerimamu, walau kamu berteriak-teriak seperti orang gila!” sahut seseorang di balik pohon itu.

“Berisik! Ikut-ikut saja, pergi kau!” bentakku. Aku langsung menoleh ke belakang. Orang menyebalkan yang tadi!

“Apa kamu tidak bergabung dengan teman-temanmu yang di sana?” tanya orang itu alias Michael.

“Percuma! Gara-gara kamu Alvin jadi men-cap jelek diriku, tahu? Klub astronomi jadi membosankan!” jawabku.

“Kenapa? Apa karena orang yang bernama Alvin itu sudah tidak menyukaimu lagi?”

“Hampir mirip! Aku jadi kurang bersemangat kalau dia sudah menghinaku, walau dia baik...”

“Jangan berhenti melakukan hal yang kamu sukai. Walau sumber semangatmu melemah, jika memang kamu benar-benar menyukainya. Jangan berhenti menyukainya...” jelasnya. Benar-benar puitis!

“Kamu ini pujangga, ya?” tanyaku. Tetapi dia hanya menjawabku sambil tertawa. “Kamu ini benar-benar bisa menilai seseorang, ya?”

Ternyata dia mengikuti klub puisi, dan sedang melaksanakan liburan klub yang satu tahun sekali.

Michael benar-benar tampan, sampai-sampai pada saat aku bertemu dengannya hatiku langsung berbunga-bunga. Dia lebih tua tiga tahun dariku. Pertama kali aku bertemu dengannya aku berumur dua puluh enam tahun.

Kami mulai berpacaran setelah kejadian itu. Tak peduli kata-kata Alvin yang mencela-cela hubungan kami. Aku tahu, Alvin cemburu pada kami. Apalagi saat melihatku dan Michael yang berbungkus pakaian putih yang identik dengan pernikahan. Yang setahun setelah pertemuan kami berdua, kami lalu melangsungkan pernikahan. Gaunku cocok sekali dipakai di badanku, seperti seorang lady di kerajaan Belanda.

Sampai sekarang, kami tetap berbahagia seperti yang kau tahu. Alvin akhirnya menikah pada hari ini dengan Anty, mungkin terpengaruh karena mereka menerima bunga Lily lemparan dariku. Yah, siap-siap saja nanti sore.

Pertemuan mereka lumayan romantis, bertemu di taman setelah cemburu padaku. Lain denganku, benar-benar kurang romantis!

 

Bab 2

                                  

          Setelah bersiap dan memakai gaun terindahku yang berwarna hitam, aku dan Michael segera bergegas ke pesta pernikahan Alvin. Kami menaiki mobil Porsche berwarna hitam. Ternyata perjalanan menuju ke pesta pernikahan Alvin dan Anty macet tapi kami lewat jalan tol. Dengan melaju ke jalanan abu-abu. Dengan latar belakang langit malam yang dihiasi kerlipan bintang, serta gedung-gedung yang menjulang tinggi dengan lampu ruangan yang terus menyala menambah keromantisan kami. Los Angeles memang kota yang romantis...

            Aku memaksa Michael agar membuka atap mobil, aku ingin menghirup udara malam. Michael orang yang baik hati dan bukan tipe pemaksa, maka dia mengijinkanku membuka atap. Langsung saja angin kencang berhembus ke arah kami.

            “Yahoo!!” kataku sambil mengangkat kedua tanganku.

            “Anne, jangan begitu! Nanti kamu jatuh, aku tidak tanggung lho!” teriak Michael. Suaranya tidak begitu terdengar karena hembusan angin menyembunyikan suaranya. Maka aku tidak terlalu menggubrisnya. Ya, namaku Anne! Seorang gad...eh, istri berambut hitam kecokelatan. Rambut panjang lurus sepinggang, dipadukan dengan tubuh yang langsing. Mata hitam kecokelatan juga, dan tubuh agak tinggi.

            Porsche melaju semakin cepat, lama kelamaan aku mulai kedinginan. Dan langsung menutup atap mobilku.

            “Tuh, kan? Makanya jangan yang aneh-aneh! Belum sempat punya anak sudah ingin mati,” kata Michael agak bercanda.

            “Berisik, ah! Lagipula siapa yang ingin mati?” kataku mengambek. “Akukan punya suami terhebat di dunia!” langsung saja muka Michael memerah, karena aku memeluknya juga. Kemudi yang berada di sebelah kiri menambah keanggunannya dalam berkemudi. Semangat sekali, sih?

    

Bab3

 

          Sesampainya di sana, kami segera mengisi di buku daftar tamu dan memasukkan amplop sumbangan ke dalam kotak. Tapi sebelum itu, kami harus menulis nama dulu di urutan ke seribu tiga ratus enam puluh satu. Amplop ke 1361, ya ampun! Pakai nomor segala, memangnya kita orang pelit apa ya?

            Lalu saat kami masuk, ternyata sudah sampai saatnya melempar bunga. Anty melempar bunga, dan....Yak! Sampai ke tangan seorang wanita bersuami, yang ama..at cantik. Yaitu aku sendiri, hehe memuji diri sendiri.

            Alvin kaget melihatku menangkap bunga, padahal itu tidak disengaja! Baru datang sudah disambut lemparan bunga...

            Anty memulai tepukan tangan, dan tak sampai satu menit seluruh aula gedung digemuruhi suara tepukan tangan.

            “Anne, kurasa kamu harus menikah lagi!” kata Anty padaku lewat mikrofon. Aku langsung berjalan cepat menuju panggung sambil menggandeng Michael.

Kemudian aku berkata di mikrofon, “Yeah! Aku akan menikah lagi dengan lelaki ini!” aku menunjukkan wajah Michael ke seluruh pengunjung. “Aku akan menikah dengannya lagi karena aku masih mencintainya!” Kemudian seluruh pengunjung perkawinan itu tertawa terbahak-bahak entah mengapa.

            “Anne, kita terlihat seperti orang bodoh jika berdiri di sini. Apalagi ditambah dengan perkataanmu yang bodoh, kita akan terlihat lebih bodoh lagi!” kata Michael setengah berbisik.

Salah satu pengusaha terkenal, dan merangkap sebagai direktur menghampiri mikrofon dan berkata, “Tak aneh apabila kau mencintainya. Sesungguhnya lebih aneh lagi apabila kalian menikah lagi. Semestinya kalian bercerai dulu, lalu menikahinya! Itu baru bisa...” Lagi-lagi seluruh pengunjung tertawa. Padahal lelucon itu sama sekali tidak lucu!

Aku hampir saja mendekatinya dan menyemprotnya dengan perkataanku yang lebih dalam lagi, sebelum Michael menarik lenganku.

“Sesungguhnya lelucon itu tidak lucu! Kau lihat di atas sana?” kata Michael berbisik sambil menunjuk ke atas balkon ruangan.

“Apa? Oh, tulisan laugh?” kataku.

“Itu adalah petunjuk pengunjung di sini, harus dipatuhi karena orang tadi adalah pembiaya pesta ini. Dia paman Anty! Semua orang takut padanya...” jelas Michael panjang lebar.

“Kecuali aku! Toh ini bukan pestaku, suka-suka aku!”

“Anne, Alvin dan Anty tidak menghancurkan pesta kita meskipun mereka amat kesal pada kita. Kita harus menghormati pestanya juga! Kamu jangan cepat emosi dong,”

“Yaah... Ya, sudahlah!” kataku sambil menghela napas dan aku memeluknya dari samping. Kami berjalan seperti itu terus sampai saatnya makan malam.

 



 

            Saat pulang, aku sudah capai sekali. Aku berdansa terus sampai lelah! Dan di mobil dalam perjalanan aku berkata kepada Michael, “Tadi Aku hampir saja mengatai direktur itu si Botax kaca, habis dia menyebalkan sekali sih!”

            “Yaah, untung kamu bisa menahan diri. Aku senang, Anne!”

            “Siapa dulu suaminya?”

Kemudian aku tertidur di bahu kanan Michael, nyaman sekali...

 



 

            Aku diangkat Michael menuju kamar kami, aku tidak terlalu berat tetapi gaunnya menambah berat badanku. Lalu Michael menggantikan bajuku dengan gaun tidurku yang berwarna hijau gelap. Itu pemberiannya kemarin, gaun kesayangan kami di antara banyak gaun pemberian sahabatku. Di atas tempat tidur Michael memandang langit-langit.

            “Untung kamu tidak membuka atap Porsche kita lagi, tadi! Kalau tidak kamu pasti sekarang sudah demam tinggi, Anne! Keadaan tubuhmu tidak stabil karena meminum Sampagne” kata-kata Michael hampir tidak terdengar. Setelah mendengar beberapa kata tadi, kepalaku langsung berputar-putar dan pusing. Aku mengantuk sekali....     

 

Bab4

 

          Aku langsung bangun dengan terduduk, aku melihat ke sebelahku. Michael tidak ada di tempat tidurnya. Kupegang kasurnya, masih hangat. Berarti dia baru keluar entah untuk apa. Aku langsung buru-buru bangun dan keluar untuk menyiapkan sarapan. Dan kulihat Michael sedang duduk-duduk di teras belakang. Dia sedang memegang cangkir hitam kesukaannya, Cappucino sudah dia buat sendiri. Ada sepiring roti panggang di meja kaca bundar. Lalu aku melihat ada sebuah tangan manis dan lentik mengambil garpu dan menusukkannya ke roti panggang itu. Sepotong roti panggang diangkat dan dimasukkannya ke dalam mulutnya yang berlipstik merah terang. Seorang wanita! Siapakah gerangan wanita itu?

            “Michael! Siapa dia?” tanyaku langsung menegurnya.

            “Ya, ampun! Sombong sekali kamu, baru kemarin lusa bertemu langsung lupa...” sahut wanita itu.

            “Siapa, sih? Ikut campur saja kau!” tegasku. Aku masih rabun.

            “Anne, jangan kasar begitu sama kakakmu sendiri.” Kata Michael.

            “Kakak?” aku langsung melongok ke sebelah kiri untuk melihat lebih jelas wanita itu. “Kak Jean Simonetta!” sekarang dia sudah menjadi Jean Zelig. Dia mempunyai tubuh yang bagus, mata cokelat turunan ibuku. Rambutnya agak ikal berwarna cokelat kehitaman. Tubuhnya agak tinggi, tetapi dia lebih pendek dua belas senti dariku.

            “Hahaha! Dasar anak pikun...” kata kak Jean mengusap kepalaku. “Nyonya Easter jadi orang pikun”.

            “Kukira kemarin lusa kakak tidak datang! Habisnya kakak tidak terlihat sih!” kataku.

            “Aku bukan hantu tahu! Kemarin lusa aku kok yang memberimu hadiah yang paling besar dan mengejutkan!” kata kak Jean mengambek.

“Kurasa aku harus menyiapkan satu roti panggang lagi untukmu, Anne” kata Michael langsung menuju dapur.

            “Yah, terima kasih!” kataku. “Aku lupa, memang kakak memberi apa?”

            “Boneka sapi yang paling besar, tahu! Sudah paling mahal, dikucilkan lagi!” bentak kak Jean setengah bercanda.

            “Tapi itu tidak mengejutkan, kok!”

            “Bodoh! Padahal kamu yang paling ribut gara-gara sapi itu. Sekarang mana?” tanyanya.

            “Sudah kubuang!” kataku ketus.

            “Apa?!” katanya terkejut.

            “Ya tidak-lah! Ada di kamarku, kuletakkan di sebelah meja kerja Michael...”

            “Pyuh, kaget. Dasar kamu!” kata kak Jean menepuk kepalaku. “Tuh ingat!”

            “Cuma nge-tes..” kataku tersenyum jahil.

            “Huuh!!” kak Jean langsung menggosok-gosok kepalaku sampai rambutku kusut. Kakakku selalu menganggapku anak kecil, padahal aku sudah punya suami! Begitulah dia...

            “Ini rotinya, harus dimakan! Kamu belum sarapan, lho!” kata Michael mengejutkanku.

            “Hmm, malas ah!” kataku sambil mendorong piring kecil yang disodorkan Mike.

            “Makan, atau kusuapi kamu!” paksa Mike.

            “Ya, ya! Ngomong-ngomong kakak ke sini dalam rangka apa?” tanyaku sambil mengunyah rotiku.

            “Memberimu bunga Snow Drop yang kupetik dari halaman rumahku. Jarang-jarang lho, bunga ini dapat kamu lihat!” jelas kak Jean.

            “Dari halaman rumah kakak? Yang di Jerman? Jauh amat!” kataku. “Terima kasih sekali, lho! Aku ingin sekali melihat bunga ini...”

            “Yah, begitulah!” kata kakak sambil tersenyum.

            “Suami kakak? Bagaimana, kok ditinggal begitu gara-gara bunga? keponakanku juga...” tanyaku.

            ~Klek~ pintu teras dibuka seorang Jerman yang amat tegap seperti seorang Militer. Itu suami kakakku...

            Bagaimana? Urusanmu sudah selesai?? kata suami kakakku sambil berkata dengan bahasa Jerman.

            Yah, sebentar lagi...” kata kakakku dengan sopan. “Baik, kakak pulang dulu! Lain kali kakak mampir lagi sambil mengajak Orlando, soalnya Alonzo sudah ingin tugas lagi. Dia kabur dari tugasnya demi aku, dia setia sekali lho! Michael, kamu harus bisa seperti itu...” lanjutnya.

            “Ya, kak!” kata Mike dengan sopan.

            “Sampai jumpa! Lain kali menginap, ya! Kakak bakal betah tinggal di sini, deh! Jangan lupa ajak Orlando” jelasku. Orlando adalah anak tunggal kak Jean, dia berumur tiga tahun.

            “Yah, sampai jumpa!” balasnya.

            Bye, Anne!” kurasa aku mengerti dia berkata apa, sampai jumpa, Anne!

            Bye, Alonzo!” balasku, dia membalasnya dengan senyuman lembut. Aku punya perasaan aneh, jangan-jangan dia akan gagal dalam tugasnya?

            Ah, kembalilah Alonzo!” teriakku, belajar bahasa Jerman tidak ada salahnya.

            Dia langsung menengok kaget. Tapi dia tidak terlalu menghiraukannya.

            “Kakak!!!” panggilku pada kak Jean.

            “Ya, ya!” jawab kakakku.

            “Ada yang tertinggal, tuh! Punya kak Alonzo juga ada...” kataku. Aku terpaksa berbohong, aku punya firasat aneh bahwa kak Alonzo tidak akan menang perang. Sejak kecil aku sering disebut peramal kesialan. Perang terjadi lagi pada tahun 2019! Perang dunia ke III ...

            “Aduuh, ada-ada saja! Pakai tertinggal segala...” kata kakakku.

            “Kak Alonzo mana?” tanyaku cemas.

            “Oh, dia buru-buru. Jadi dia langsung saja pergi, katanya aku menginap saja dulu di rumahmu. Baru dia menjemput” jelas kak Jean panjang lebar.

            “Tidak!! Kakak, panggil dia kembali!” jeritku panik. “Dia akan gagal dalam perang, kak!”

 



Bab 5

 

          “Pasti kamu bercanda, kan? Alonzo orang kuat, tidak mungkin dia gagal!” kata kakak.

            Kami duduk di dekat perapian, badai salju semakin kencang. Menerpa rumah kayu kami.

            “Sudah, kalian tenang saja. Apa tidak sebaiknya kakak menelpon kak Alonzo?” tanya Michael menenangkan.

            “Percuma! Ponselnya selalu dimatikan kalau sedang mengemudi..” kata kakak semakin cemas. “Tinggal tunggu keputusan Tuhan, apa dia selamat atau tidak....”

 



 

            “Aku sudah menelpon suster Rossa, untuk segera mengajak Orlando ke sini! Maaf, ya Anne. Jadi tambah merepotkan...” kata kakak.

            “Tak apa! Aku senang kok kalau Orlando datang ke sini.” Jawabku.

            Mom!” panggil Orlando. Dia langsung berlari ke pelukan ibunya alias kakak.

            “Orlie, kamu naik apa ke sini?” tanya kakak. Orlie adalah panggilan kesayangan dari Orlando.

            By Airplane!” jawab Orlie. Aduh, dia itu lucu sekali. Makanya aku sayang sekali sama dia...

            Good boy! Nah, sekarang bermain dulu dengan suster Rossa ya?”

            “Yaaa....” jawab Orlie kecewa. “Maunya sama Anne!”

            “Jangan! Kami sedang repot, nanti saja...” kata kakak.

            “Sudah, tidak apa-apa. Nanti kita lanjutkan lagi bicaranya, kakak istirahat saja dulu.” Kataku lalu meninggalkan ruangan itu.

 



 

            “Nah, kamu tidur dulu ya? Nanti kita main lagi..” kataku pada Orlie.

            “Yah!” jawabnya lalu kemudian dia langsung tertidur.

Aku lebih suka mengasuh Orlie daripada anak-anak lainnya. Karena dia langsung tidur tanpa dibacakan dongeng dulu. Aku bingung bagaimana kakak bisa menerapkan cara seperti itu.

“Sudah tidur?” tanya kakak sambil membuka pintu sedikit.

“Sudah...” jawabku.

“Ayo, kita jalan-jalan sebentar di dekat danau” ajak kakak.

Kemudian kami langsung keluar menuju danau. Tanpa mengajak Mike, karena dia sudah tertidur kecapaian.

Danau membeku karena musim dingin. Di situ sepi sekali, karena daerah ini selalu mengerikan kalau musim dingin. Tetapi aku dan kakak nekat saja.

“Main skating, yuk!” ajakku.

“Yah, bolehlah!” jawabnya.

Kami langsung saja mengeluarkan bawahan sepatu skate yang seperti pisau. Di jaman sekarang, sepatu 2 in 1 yang rangkap dengan sepatu skate sedang mode.

“Waah, kakak sudah ahli rupanya!” kataku menyindir.

“Sialan! Aku sudah latihan susah payah, tahu-tahunya gampang sekali...” tawanya.

“Dibilang gampang tidak percaya, dulu!” aku kemudian meragakan gayaku. Memutar di tengah-tengah, mengasyikan sekali! Kakak juga ikut meragakan gayanya. Wah, dia lebih ahli!

Tiba-tiba, es yang kupijakkan retak cepat sekali. Bagaikan menyaksikan gerakan lambat, aku jatuh ke dalam danau dingin. Kulihat wajah kakak kaget sekali, saat aku menghilang ke dalam danau... Aku sulit bernapas, walau aku bisa berenang. Saat itu rasanya aku tidak bisa bergerak, kemudian aku bagai menyaksikan film. Perputaran film masa laluku... Saat aku bayi, TK, SD, SMP, SMU, bahkan saat aku lulus sarjana. Kemudian saat aku menikah, saat aku bermain skating dan selanjutnya tertutup bayangan gelap.

Aku terduduk di sebuah ruangan dan aku diajak masuk oleh seseorang. Mirip Daisy, temanku semasa SD. Aku diajak menerima kartu. Di situ tertulis namaku, tanggal lahirku dan tanggal saat aku bermain skating. Hampir aku mengambil kartu itu, lalu aku dikejutkan suara suamiku yang terus saja memanggil-manggil namaku.

Aku berbalik ke belakang, ada bayangan kakak dan suamiku yang sedang berdoa pada Tuhan sambil menangis. Selain itu ada Orlie yang menangis keras sekali.

Aku dipaksa Daisy mengambil kartu itu. Aku terpaksa mengambilnya. Saat aku melihat ke belakang lagi, bayangan tadi perlahan mulai menghilang. Aku melempar kartu itu jauh-jauh dan segera berlari menghampiri bayangan tadi. Kemudian aku seperti terlempar ke suatu tempat. Dan kepalaku mulai terasa ringan sekali....



  

Bab 6

         

          “Mukjisat! Orang ini sudah siuman... Suster, panggilkan Mr. Easter!” kata seseorang. Gelap sekali...

            “Anne, kamu sudah siuman?” tanya suara Mike. Perlahan aku membuka mataku. Benar, itu Mike!

            “Astaga, puji Tuhan!!” kata Mike kemudian dengan segera ia memelukku erat sekali.

            “Aduh, apa-apaan sih? Memangnya aku sudah mau mati? Ribut sekali!” kataku sambil mendorong dada Mike. Dia terkejut. “Tenang, aku hanya ingin istirahat..”

            Mike langsung berjalan menuju pintu, “Maaf” katanya “Aku senang kamu sudah sadar..” kemudian dia keluar. Aku langsung saja tidur, mudah-mudahan mimpi indah!

 



 

            “Nyonya, waktunya makan malam” kata seorang perempuan. Suaranya lembut sekali...

            Aku membuka kelopak mataku perlahan-lahan. Tampak wajah seorang wanita cantik berbaju putih, rupanya dia susterku.

            “Mana Mike?” tanyaku padanya.

            “Siapa?” tanya suster meyakinkan dirinya.

            “Ehm, Michael Easter!” jawabku.

            “Oh, suami nyonya? Tadi dia sudah kembali dua jam yang lalu...” katanya.

            “Bagaimana sih? Istri sakit, suami malah kabur!” gerutuku.

            “Bukannya tadi dia anda suruh pergi karena mau beristirahat? Makanya dia pulang!” jawabnya.

            Aku bertanya pada suster, apa penyebabku masuk ke rumah sakit. Ternyata aku tidak sadarkan diri setelah tenggelam di air es itu selama dua hari. Jantungku berhenti berdetak lima detik, lalu normal kembali... Sungguh menyeramkan!

            Tetapi, bukankah selama itu aku ada di sebuah ruangan gelap? Bersama Daisy...

 

Bab 7

 

          Esoknya, saat aku bangun dari tidurku di kamar rumah sakit ada banyak bucket bunga Lily dan beberapa tangkai Snow Drop. Banyak juga bingkisan buah anggur kesukaanku. Siapa ya?

            “Sudah bangun, sayang?” tanya seorang lelaki bertubuh atletis, yang jelas bukan Mike.

            “Lho? Gerald!” sambutku. Dia adalah teman dekatku waktu SD, Mike sering cemburu dengannya. Padahal aku tidak suka dengannya. Dulu orangnya hitam, kecil, dan porno. Makanya aku tidak suka dia! Ada satu teman dekatku lagi, namanya Gladiz. Dia agak bule, tetapi rambutnya dicat pirang entah mengapa. Kami bertiga sama-sama tidak menyukai Yosua, dia anaknya agak bau, menyebalkan pula!

            “Ini semua bingkisan dariku, lho!” katanya membuyarkan lamunanku.

            “Bohong! Sebagian ada yang dariku, dan semuanya dari Mike!” potong kak Jean sambil melemparkan tatapan sinis pada Gerald.

            “Waah, ketahuan juga!” tawanya agak serak.

            “Jelas saja, bodoh!” kak Jean selalu bertengkar dengannya.

            “Sudah-sudah!” lerai Mike. “Tak apa kalau semua bingkisan diakui semua olehnya. Yang pentingkan niatku untuk memberikan pada istri tercinta...”

            “Yaah, terserah kalian sajalah!” kataku sambil menghembuskan napasku dengan keras.

 



 

            “Kamu tidak tahu kalau kamu hampir mati dan kamu sekarat sampai dua hari?” tanya kak Jean.

            “Tahu, tahu bawel!” jawabku.

            “Ini bukannya bercanda, Michael sampai semalam suntuk menjagamu. Kamu malahan membentak dia!” omel kakak.

            “Mana kutahu? Habisnya...”

            “Jangan hanya bilang habisnya! Sudah minta maaf belum pada Michael?” putus kakakku.

            “...Belum.” kataku merenung.

            “Sana minta maaf! Kupanggil dia, ya?” katanya lagi, kemudian dia membuka pintu kamar sedikit. Sinar lampu dari lorong memancar dari celah pintu. Kamarku ini remang-remang, karena jam berkunjung hampir habis.

            “Anne..” panggil seseorang. Dia Mike...

            “Kutinggal, ya? Cepat sembuh!” pamit kakak.

            “Begini...” kataku dan Mike bersamaan.

            “Kamu dulu..” lanjutnya.

            “Begini, aku mau minta maaf soal kemarin. Aku tidak tahu kamu menungguiku semalam suntuk, tapi aku malah membentakmu dan mengusirmu... Aku menyesal sekali, sungguh!”

            “Aku juga mau minta maaf karena aku bereaksi terlalu berlebihan. Aku sungguh bersyukur karena kamu sudah siuman...”

            “Sudah sepantasnya kamu seperti itu, maut hampir menjemputku... Kamu pantas bersyukur dengan kesadarannya diriku. Aku sungguh durhaka pada suami!”

            “Tidak! Kamu tidak durhaka, sayang! Karena aku sudah memaafkanmu...” katanya kemudian dia memelukku.

            “Oh, Mike...” air mata mengalir di pipiku. Aku terharu sekali mempunyai suami seperti dia. Kemudian dia mencium bibirku perlahan dengan lembut. Setelah itu dia berjalan menuju pintu.

            “Selamat malam, mimpi indah, dan cepat sembuh!” katanya seraya menutup pintu. Pancaran cahaya lorong perlahan menghilang bersamaan dengan menutupnya pintu.

            Kupandangi jendela, melihat keluar. Gedung-gedung bercahaya bagai ditaburi bubuk sihir oleh Tinkerbell. Aku jadi teringat saat Porsche hitam Mike melaju kencang menuju pesta pernikahan Alvin. Sekali lagi air mataku mengalir ke samping menuju bantal.



 

Bab 8

 

          “Terima kasih!” kata dokter dan suster yang merawatku. Hari ini aku sudah boleh pulang.

            “Maaf, permisi!” kata seorang laki-laki yang membawa jas dan tas kerja, dia berlari terburu-buru. Dia hampir menabrak aku dan Mike, ternyata dia berlari ke ruang bersalin. Rupanya istrinya sedang hamil...

            “Apa kamu ingin mempunyai anak, Mike?” tanyaku kepada Mike.

            “Kenapa tiba-tiba? Aku hanya terserah kamu saja!” jawabnya seraya tersenyum.

            “Tidak, aku hanya bertanya...” jawabku. Sebenarnya aku belum ingin dan tidak ingin mempunyai anak. Aku takut bersalin, itu seperti mempertaruhkan kehidupan. Belum tentu aku selamat kalau sudah melahirkan bayiku.

            Pula, aku tidak bisa merawat anak. Karena aku tidak suka anak-anak... Aku tidak mau berkata seperti itu kepada Mike, aku tahu di dalam hatinya ia ingin menjadi seorang ayah. Sebab, dia amat menyukai anak kecil!

            Kami berjalan sampai basement dan naik ke dalam mobil. Rasanya sedih sekali kalau mengingat kejadian lalu, saat aku membentak Mike. Untungnya, dia sudah memaafkanku..

            ~Klik~ aku menyalakan televisi di dalam mobil. Saat gambar muncul, langsung ada berita.

            “Telah dikabarkan sebuah pesawat Paris yang terbang menuju Los Angeles jatuh di samudera Atlantik. Banyak korban yang tak terselamatkan. Dan ada seorang penumpang yang belum diketemukan. Dia adalah Daisy Made, umur 27 tahun, tinggal di daerah Eropa Barat. Sekian informasi...” berita itu membuatku tersentak lama, karena Daisy adalah sahabatku!

            Aku mengucurkan air mata, rupanya Daisy bermaksud mengunjungiku. Tetapi dia malah mendapat musibah...

            “Hey, Anne... Bukankah itu sahabatmu?” tanya Mike setelah dia meminggirkan mobilnya ke sisi jalan.

            Aku tidak menjawabnya, malah air mataku mengucur makin deras.

            Rasanya baru beberapa hari lalu dia menemuiku di ruangan gelap itu...

 



 

            Sehari setelah berita itu, aku datang ke Paris. Negara tempat tinggal Daisy...

            Aku menaiki taksi sendirian, tanpa Mike. Hari ini bertepatan dengan hari dia akan bekerja. Sendirian sekali-sekali tak apa...

            Taksi berhenti di depan rumah keluarga Daisy. Aku membayar taksi seharga 2 Franc. Cukup mahal bagi orang Indonesia, kalau menurutku biasa saja.

            Aku langsung mengetuk pintu dengan tapal kuda yang tergantung di sana. Kemudian ada seorang wanita membuka pintu, sepertinya pelayannya Daisy...

            “Permisi, apakah...” kata-kataku terputus oleh pelayan Daisy yang berkata-kata dengan bahasa aneh.

            Maaf, anda berkata apa? Saya tidak mengerti...” kata pelayan itu. Oh, iya... Inikan di Paris mana dia mengerti bahasa Inggris.

            Daisy... Anne,” kataku dengan menyesuaikan cara berbicara orang Perancis. Pelayan itu mengerti kalau aku tidak bisa berbicara bahasanya, akhirnya dia mengisyaratkan untuk masuk.

Rumahnya cukup besar dan banyak bunga-bungaan di dalam pot di setiap meja. Aku disuruhnya naik ke atas, sepertinya kamar Daisy...

            Kemudian aku menoleh ke pelayan itu, dia hanya menunjuk ke atas tempat tidur yang ditempati seorang wanita berselimut tebal. Kamarnya dingin, mungkin? Setelah menunjuk, pelayan itu keluar dan menutup pintu dengan perlahan. Wanita itu memunggungiku.

            “Permisi, anda siapa?” tanyaku. Mungkin dia mengerti bahasa Inggris? Siapa tahu! Dia hanya diam... Tapi kemudian berkata,

“Anne, maaf. Kamu jadi datang ke sini...” Suaranya serak dan berat. Siapakah dia? Mengapa Ia mengenalku? Padahal sepertinya kami belum pernah bertemu sebelumnya...

 

Bab 9

 

          “Anda siapa? Apakah anda saya kenal?” tanyaku gemetar. Aku tetap bersandar di pintu untuk menjaga jarak.

            “Aku, aku..” katanya. Dia menoleh dan dengan wajah yang rusak sebelah dia tersenyum lemah.

            “Da..Daisy?!” teriakku sambil menutupi hidung dan mulutku dengan kedua tanganku. “Ya, Tuhan! Apa yang terjadi padamu?” lanjutku sambil menghampiri Daisy.

            “Kecelakaan itu...” sebelum melanjutkan kata-katanya, yang keluar malah air mata deras. “Maaf...” katanya.

            “Jangan-jangan kecelakaan pesawat itu? Apa yang terjadi?” tanyaku dengan panik.

            “Sebelum pesawat jatuh ke laut, aku memang memakai parasut. Tapi, ternyata parasutku malah tersangkut di mesin yang terbakar. Wajahku jadi ikut terbakar, karena angin saat itu kencang sekali...” jelasnya panjang lebar.

            “Tapi, menurut berita...” kataku. “Menurut berita memang aku dinyatakan hilang. Tetapi setelah berita itu disiarkan, aku diketemukan dipunggung seekor lumba-lumba. Tapi, sebenarnya untuk apa aku hidup dengan wajah seperti ini?” putusnya dengan penjelasan yang juga panjang.

            “Kamu jangan begitu, itu namanya kamu menyia-nyiakan usaha lumba-lumba yang telah menyelamatkanmu!” kataku menasihati.

            “Hmm, terima kasih! Tetapi, aku jadi putus asa untuk keluar rumah..”

            “Aku akan usahakan sesuatu untuk mengembalikan wajahmu!”

            “Mau buat kejutan, tapi malah jadi begini...  Merepotkan saja,” Daisy merenung.

            “Kau sudah cukup membuatku terkejut dengan kecelakaanmu!” candaku. “Ya sudah, aku pulang dulu. Lain kali aku mampir lagi... Aku juga harus banyak beristirahat setelah kecelakaanku!” lanjutku.

            “Kamu juga kecelakaan? Kecelakaan apa? Mobil? Tapi kamu masih tetap normal, kan?” tanya Daisy bertubi – tubi.

            “Yah, begitu deh! Aku jatuh ke danau es dekat rumahku. Ceroboh sekali, bukan? Tapi tentu saja aku masih normal, masakan aku jadi abnormal gara-gara tercebur ke danau?” kataku tertawa.

            “Hahaha, iya sih!” mendengar Daisy tertawa saja sudah membuatku lega. Aku tetap mengurungkan niatku untuk menetap di sini.

            “Maaf, ya? Aku tidak bisa tinggal di sini..” kataku.

            “Tak apa, justru aku yang minta maaf! Maaf merepotkanmu, Anne!” katanya.

            “Tak apa juga! Permisi...” pamitku. Aku membuka pintu dengan perlahan.

            “Maaf juga karena aku mau membawamu, aku sebenarnya iri padamu Anne!” kata Daisy tiba-tiba. Suaranya ada di celah pintu. Sebelum aku sempat tersadar dan membuka pintu, Daisy cepat-cepat mengunci pintu.

            “Apa maksudmu, Daisy?” tanyaku segera.

            “Tapi untung karena kamu, aku membuang kartu kematianku untuk mengikutimu. Kupikir dengan mengikutimu, aku juga akan hidup bahagia. Tapi ternyata, aku hanya hidup dengan wajah setengah hancur seperti ini...” katanya.

            “Tidak, Daisy! Aku akan mengusahakan agar wajahmu kembali seperti semula. Aku janji, Daisy!!!” kataku sambil jatuh terduduk di balik pintu dengan air mata terurai.

 



 

            Aku seharian mencari-cari dokter kulit yang bisa menyembuhkan kondisi wajah Daisy di kota. Tidak ada seorang pun! Bagaimana ini? Aku sudah berjanji pada Daisy...

            “Lho, Anne? Sedang apa di sini?” tanya seseorang dari belakangku. Aku segera membalik tubuhku.

            “Ya, ampun! Peter? Sudah lama sekali ya?” balasku. Peter adalah bekas kakak kelasku waktu di SMP. Aku sangat menyukainya, bahkan sampai sekarang. Meskipun aku tahu bahwa dia sudah mempunyai pacar, aku terus memendam perasaanku itu. Aku pernah ditegurnya, katanya dia agak risih kulihat terus. Ugh, aku kesal sekali waktu itu! Ge-eR sekali sih? Tapi dia memperbolehkan aku melihatnya sepuas mungkin saat pacarnya tidak ada. Aneh sekali...

            “Mana Ester? Tumben jalan sendiri,” kataku.

            “Semenjak pulang bulan madu dari Australia, dia jadi malas keluar dan aku harus membelanjakan kemauannya!” jawabnya.

~Deg~ sesaat jantungku berdetak lebih kencang. Jangan bilang kalau kalian sudah menikah!

            “Ka..kalian sudah menikah? Kok tidak mengundang?” kataku hampir gelagapan.

            “Maaf, hanya pesta kecil-kecilan bersama keluarga kok!” jawabnya sambil mengatupkan kedua tangannya di hidungnya yang mancung, menutupi senyumnya.

            “O..ooh!” tawaku lirih.

            “Kamu sendiri?” balasnya.

            “Oh, dia sedang bekerja!”

            “Dia? Dia siapa?”

            “Suamiku”

Sesaat sepertinya wajahnya agak terkejut, dan matanya tergerak.

            “Kamu sendiri tidak mengundang! Wah, lupa sahabat lama nih!” candanya. Sahabat? Aduh, aku tidak pernah berharap dia menganggapku sebagai sahabatnya!

            “Habis, telepon rumahmu yang baru aku tidak tahu! Yang lama katanya sudah pindah, ya sudah!” kataku. “Eh, tapi kamu kok tahu kalau tadi itu aku? Bisa saja orang lain!” lanjutku.

            “Tahu, dong! Akukan selalu mengingatmu, Anne!”

Hah? Mengingat?

            “Apa?” tanyaku untuk meyakinkan.

            “Oh, tidak! Cuma angin lalu..” jawabannya selalu membuatku ingin mencubit pipinya, tapi sekarang mana boleh? Diakan sudah punya orang spesial yang akan selalu mencubit pipinya dengan bumbu cinta... Ah, sudahlah!

            “Eh, sudah ya! Aku harus cepat-cepat, nanti Ester keburu jebol!” katanya terburu-buru.

            “Eh, tunggu!” kataku yang langsung menarik lengannya kembali dengan tangan kiriku.

“Maksudmu Ester sedang hamil?” lanjutku.

            “Tidak! Dia sedang berbadan dua!” katanya cepat-cepat.

            “Ckk, itu sih sama saja!” kataku. “Kalau sudah melahirkan, telepon aku ya?” Tangan kananku cepat-cepat merogoh sakuku dan mengambil kartu namaku.

            Dia mengambilnya, melihatnya sebentar, dan memasukkan ke sakunya. Kemudian dia langsung berlari, hilang ke dalam kerumunan banyak orang.

            Peter, kenangan masa laluku. Dambaan dan pujaan hatiku. Seperti layaknya mawar, wajahnya selalu berbunga di dalam hatiku dan aku selalu sakit seperti tertusuk duri bunga itu bila selalu melihatnya bersama-sama Ester.



 

Bab 10

 

          “Wuaah! Michael, kamu baru pulang?” tanyaku sambil menguap. Aku terbangun pada pukul dua pagi dini hari, karena Michael yang berisik di ruang tengah.

            “...” Dia hanya diam.

            “Michael?” panggilku.

            “...” sekali lagi dia hanya diam.

            “Michael??” panggilku sekali lagi. Tapi yang menjawab hanya bunyi jam kakek yang berdentang dua kali.

            “Michael, jawab donk!” teriakku kesal. Tapi tiba-tiba pintu depan di buka seseorang.

            “Anne, ada apa teriak-teriak?” tanya seseorang, suara Michael! Aku paling hapal suaranya yang khas! Kalau yang itu Mike, yang ini siapa...?

            Saat aku melihat kembali ke Michael yang di dekatku, terlihat wajah Mike yang bertaring dan ada lendir-lendir menetes dari mulutnya. Matanya yang hampir keluar membuatku tambah merinding. Sesaat tangannya perlahan hampir menarikku, aku langsung berteriak sekencang mungkin.

 



 

            “Michael!!” teriakku. Saat aku tersadar, aku sudah duduk di atas tempat tidurku. Di sebelahku terlihat Michael yang tertidur pulas. Untunglah hanya mimpi....

            “Anne, kamu memanggilku?” tanya Mike yang sepertinya terbangun.

            “Ehh, maaf! Aku jadi membangunkanmu...” jawabku.

            “Tak apa... Maaf Anne, aku mau bicara penting!” katanya tiba - tiba.

            “Silahkan, tidak mengganggu kok!” sahutku.

            “Begini Anne,” katanya. Langsung saja dia mengubah posisinya menjadi posisi duduk. “Aku melihatmu bersama Peter tadi siang. Aku takut cintamu yang dulu masih ada, Anne. Kamu masih menyayangiku, kan?” lanjutnya.

Aku langsung duduk bertatapan dengannya. “Tentu saja, Michael! Apalagi yang kurang?” Kemudian Michael memelukku erat sekali.

            “A..ada apa tiba-tiba?” tanyaku kaget.

            “Aku takut kehilanganmu, jangan tinggalkan aku ya?”

            “Apa sih? Aku tidak suka dia lagi, Michael!” kataku menenangkannya. Aduh, dosa berat nih! Tapi masa aku harus mengaku kalau masih ada sedikit rasa?

            “Aku tahu kamu bohong, Anne!” katanya.

~Deg~ kok tahu?

            “Kamu pasti bertanya mengapa aku bisa tahu, kan?” katanya lagi. Wuah, paranormal!

            “Aku tidak bisa tidur. Sebelum kamu meneriakkan namaku, aku mendengar kau mengerang seperti akan menangis dan menyebutkan nama Peter lebih dari tiga kali...” ujarnya.

            “I..itu sih...” kataku sebelum terpotong Michael. “Sudahlah, itu kejadian yang sudah lewat!” katanya dan langsung merebahkan dirinya lagi di tempat tidur kayu kami.

 



 

            “Pagi Michael!” sapaku saat masuk ke dapur. Tetapi yang menjawab tidak ada, melainkan kesunyian ruangan ini. Aku mencari-cari Michael kemana-mana, tapi dia tidak ada. Kemudian di meja makan terlihat secarik kertas. Aku membukanya perlahan dan mulai membacanya.

 

Dear : Anne,

            Maaf kamu jadi kaget. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu... Tapi aku tidak ingin bertatapan wajah denganmu. Aku tahu aku belum siap menatapmu saat ini.

Aku ingin berjauhan sementara denganmu. Aku harap kamu segera melupakan Peter. Dan kembali lagi ke hatiku... Karena itu, mumpung hari Sabtu, aku pergi jalan-jalan sebentar untuk menjernihkan pikiranku...

 

PS: Jangan khawatirkan aku, aku bisa jaga diri kok!

                                                                                                            Michael



 

Bab 11

 

          “Ya, saya rasa saya bisa melakukannya!” katanya. Akhirnya kutemukan seorang dokter kulit kenalan kakakku yang dapat mengoperasikan wajah Daisy kembali seperti semula.

            “Terima kasih banyak, dokter!” kataku dan langsung bergegas keluar dan mengangkat gagang telepon umum. Langsung kutelepon Daisy sekarang juga!

            “Berita bagus! Kapan akan dioperasi?” katanya terburu-buru.

             “Tenang, tenang! Katanya pasti akan secepatnya, Daisy. Mungkin lusa...” kataku.

            “Wuah, terima kasih Anne!” akhir kalimatnya.

 



 

            ~Bruak!~ aku menabrak seseorang. Ester?!

            “Ups, sori!” katanya. Hanya itu? Aku tahu dia mengenalku dari Peter. Sombong sekali, sih? Tapi bukankah dia tengah berbadan dua? Kok jalan-jalan?

            “Sori, menunggu! Yuk, langsung aja kita nge-bir!” kata Ester mengawali pembicaraannya dengan seorang cowok. Pertama kali kupikir Peter, ternyata bukan! Ada saja ya, calon ibu minum bir pada saat kehamilan anaknya?

            Sepertinya itu selingkuhannya deh! Harus cepat-cepat kuberitahu si Peter! Tapi kurasa tidak baik mencampuri urusan orang. Lagipula, memangnya aku punya nomor telepon Peter yang baru? Biarlah...

            “Michael! Kucari kau kemana-mana...” kataku setelah menghembuskan napas lelahku. Aku memegang pundak Michael dengan gemetaran, habisnya aku berlari-lari mendekati dia.

            “Maaf, anda siapa?” tanyanya mengejutkanku. Kulihat di sebelahnya ada seorang wanita perokok. Dan Michael sendiri juga merokok! Michael bukan perokok...

            “Maaf, sepertinya saya salah orang!” kataku dan meninggalkan mereka, karena memang bukan Michael. Sepertinya hanya anak berandalan di sekitar sini, entah mengapa aku melihatnya seperti sosok Michael.

 



 

            Aku langsung pulang ke rumah, aku sudah capek sekali mencari-cari Michael. Kemudian aku langsung merebahkan diriku di sofa. Aduh, pusing sekali.. Aku memegang dahiku, agak hangat. Bahkan hampir demam! Tolong aku, Mike...

            “Anne, Anne?” panggil seseorang. Suaranya seperti...

            “Michael?” tanyaku.

            “Kamu tak apa-apa, sayang?” tanyanya khawatir. Aku langsung memeluknya, begitu mendengar suaranya yang khas.

            “Kenapa kamu pergi, Mike?” tanyaku lemas.

            “Maaf, sayang. Tapi aku pergi membelikanmu ini.... Happy Birthday ya!” katanya mengejutkanku. Aku langsung membuka mataku. Sebuah kotak kecil dihiasi pita ungu, warna kesukaanku.

            “Apa ini, Mike?” tanyaku penasaran.

            “Boleh kau buka!” katanya seraya tersenyum. Sebuah kalung, lucu sekali! Berwarna emas putih, kemudian ada gantungannya yang berwarna perak. Gambarnya sapi... Itu mengingatkanku pada Peter...

            “Kau suka?” tanya Michael membuyarkan lamunanku.

            “Y..ya! Tentu, lucu sekali!” kataku cepat-cepat.

            “Tapi mengapa kau melamun?” tanyanya lagi.

            “Ah, tidak! Hanya sapi ini mengingatkanku pada seseorang...” kataku.

            “Peter...” katanya.

“Apa? Kau mau bilang apa?” putusku. Aku tidak ingin mendengar nama Peter saat ini.

“Ah, tidak!” lanjutnya.

            “Ya, sudahlah! Mike, aku pusing sekali hari ini karena mencari-carimu... Tolong angkat aku sampai ke kamar, ya?”

            “Tentu, tapi beratmu tidak bertambah kan?” candanya.

            “Sepertinya bertambah satu pon,” balasku. Dan Michael langsung menggendongku. Kami berdua pun tertawa.

 



 

            “Terima kasih, ya Anne! Sekarang wajahku sudah kembali seperti semula, hanya saja masih ada ketergantungan dengan obat. Tapi tenang, tidak akan berlangsung lama kok!” jelas Daisy saat aku menelponnya. Hanya sekadar menanyakan keadaan...

            “Yah, sama-sama! Eh sudah dulu, ya? Biasa, urusan suami...”

            “Oh, tentu! Bye..” akhir Daisy. Sepertinya perlahan-lahan tugasku hampir selesai, ya?

            “Kakak! Bagaimana kak Alonzo?” aku menelpon lagi, tetapi kini ke Jerman.

            “Untung saja, berkat kamu dia batal ke medan perang! Aku menelpon pangkalan aman untuk memanggil dia kembali. Dan mereka mengizinkannya. Memang sih, di tempat tugasnya tim kami menang. Tapi, banyak yang terluka. Alonzo hanya mengirimkan strateginya ke markas pusat..” jelas kak Jean panjang lebar.

            “Oh... Ya, ya! Baguslah kalau begitu. Sudah ya, Kak!” kataku lega. Kemudian aku meletakkan gagang telepon ke tempatnya semula. Aku selalu pusing dengan penjelasan kak Jean. Pangkalan aman, cara mengirimkan strategi, letak markas pusat di mana aku tidak tahu!

     



 

“Michael, tenang saja! Aku masih mencintaimu...” kataku menghibur Michael yang sendirian di ruang kerjanya.

“Apa bisa dipercaya?” katanya ragu.

“Tentu! Bahkan aku bersedia mengucapkan sumpah seperti saat kita menikah dulu!” kataku meyakinkan.

“Tentu aku percaya...” kata Michael tersenyum. “Jangan tinggalkan aku, Anne..” lanjutnya. Kemudian dia membelai kepalaku dengan lembut. Dan perlahan mendekatkan bibirnya padaku, dan mengecup bibirku dengan lembut.



    

Bab 12

 

     Anne, aku tidak akan pernah melupakanmu...” kata Peter. Kemudian dia memelukku dengan erat, tinggiku hanya selehernya. Aku hanya mengeluarkan air mata. Bibirku bisu, tak bisa berkata – kata lagi.

            “Selamat tinggal, Anne...” kemudian Peter berjalan menuju bandara. Sendirian...

Aku memberi tahu hubungan Ester dengan laki-laki waktu itu ketika Peter meneleponku. Itu adalah suami keduanya, Peter hanya sebagai tempat singgah. Peter langsung menceraikan Ester, untungnya Ester hanya berbohong mengenai kehamilannya itu!

            “Peter!!! Aku yakin kita bisa berkumpul bersama lagi, jadi kembalilah lagi ke sini!” teriakku sebelum Peter hilang di balik pintu keberangkatan.

            “Anne, te amo!!” balas Peter. Bahasa Spanyol... Ya, aku juga mencintaimu. Tapi aku tidak bisa mengkhianati Michael...

 



 

          “Silakan ucapkan salam terakhir kepada saudari Anne Simonetta!” ujar Dokter tua itu. Apa maksudnya?

            “Aku akan selalu mengenangmu, semoga masuk surga, bahagialah di sisiNya, akan kukabari setiap hari tentang Orlando,” berbagai pesan terdengar di ruang duka.

            Terlihat Michael berdiri di samping kak Jean bersama seorang wanita di sebelahnya. Wajahnya mirip denganku. Oh, dia adalah Marta, sepupuku. Sepertinya mereka sudah menikah sejak dulu.

            Perlahan-lahan tubuhku terasa ringan-lunglai dan mulai melayang menjauhi ruang duka.

            Tunggu! Aku belum ingin mati, aku masih ingin bermimpi sekali lagi! Mimpi tentang kehidupanku yang sempurna! Tanpa penyakit jantung yang membebaniku....

 

*** The End ***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Persembahan untuk Tuhan, orang tuaku, kakak-kakakku, dan saudara-saudaraku yang selalu mendukung aku.

Dan untuk Sean. B yang tak akan pernah kulupakan, sebagai tambatan hatiku selamanya...